1.
Tindak Pidana dalam
TZMKO Stbl. 1939 No. 442
a.
Definisi.
(Hukum Acara, Pemeriksaan Kapal, Penyitaan Kapal, Penahanan Kapal, Membawa
Kapal ke Pelabuhan Terdekat).
1)
Perairan
Indonesia adalah perairan yang diatur oleh Undang-undang
Nomor : 6
Tahun 1996, yaitu perairan yang terdiri dari perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial.
2)
Lingkungan
maritime adalah lingkungan-lingkungan lau yang telah ditunjuk atau akan
ditunjuk oleh Presiden pada wilayah tertentu dari wilayah perairan Indonesia.
b.
Kualifikasi
tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut TZMKO Stbl. 1939 No. 442,
sebagai berikut :
1)
Melakukan
pengintaian atau survey Hydrograpy di Perairan Indonesia, melanggar pasal 12
ayat (1) huruf g jo pasal 9 ayat 1) huruf a.
2)
Menggambar
atau memotret dalam lingkungan maritime, sehingga lingkungan maritime atau
sebagian dari itu tampak pada gambar atau potret, melanggar pasal 12 ayat (1)
huruf g jo pasal 9 ayat (1) huruf b.
3)
Mengumpulkan
bahan-bahan keterangan atau petunjuk petunjuk yang berkenaan dengan lingkungan
maritime dan yang penting untuk pertahanan, melanggar pasal 12 ayat (1) huruf g
jo pasal 9 ayat (1) huruf c.
4)
Dengan
tanpa hak membuang jangkar/sauh, berlabuh atau tinggal mengambang dengan kapal
atau tongkang dalam lingkungan maritime atau Perairan Indonesia, melanggar
pasal 12 ayat (1) huruf h jo pasal 10 ayat (1).
c.
Penyidik dan dasar hukum.
1)
TNI AL, Polri
dan PPNS (Kemenhub) berdasarkan Pasal 13 ayat (1) TZMKO.
2)
PPNS (Bea Cukai) Pasal 13 ayat (2) TZMKO.
d.
Tindakan
yang diambil : pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan.
2.
Tindak Pidana
Perompakan/Pembajakan di Laut.
a.
Perompakan/pembajakan
adalah setiap tindakan kekerasan/ perempasan atau penahanan yang tidak sah,
atau setiap tindakan memusnahkan terhadap orang atau barang, yang dilakukan
untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal/kapal
lain.
b.
Kualifikasi
tindak pidana dan pasal–pasal yang dilanggar.
1)
Pembajakan
(piracy) di laut lepas melanggar
pasal 438 KUHP jo pasal 103 jo pasal 110 jo pasal 105 jo pasal 107 UNCLOS 1982.
2)
Pembajakan
di pantai (perompakan), melanggar pasal 439 KUHP.
3)
Pembajakan
di pesisir, melanggar hokum pasal 440 KUHP.
4)
Pembajakan
di sungai, melanggar pasal 441 KUHP.
5)
Nakhoda
bekerja sebagai/menganjurkan melakukan pembajakan, melanggar pasal 442 KUHP.
6)
Bekerja
sebagai ABK di kapal yang digunakan untuk pembajak di pantai melanggar pasal
443 KUHP.
7)
Menyerahkan
kapal untuk dibajak, melanggar pasal 447 KUHP.
8)
Penumpang
merampas kapal, melanggar pasal 448 KUHP.
9)
Nakhoda
melarikan kapal dari pemiliknya, melanggar pasal 449 KUHP.
10)
Bekerjasama
sebagai nakhoda atau ABK di kapal yang digunakan untuk pembajak, melanggar
pasal 450 atau pasal 451 KUHP.
c.
Penyidik
dan dasar hukum
Polri
berdasarkan pasal 6 KUHAP.
Ayat 1 ; Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
Ayat 2 ;
Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah.
d.
Tindakan
yang diambil : pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan
(Jarkaplidik).
3.
Tindak Pidana
Senjata Api dan Bahan Peledak (Undang-Undang Drt. Nomor 12 Tahun 1951).
a.
Tindak
pidana senjata api dan bahan peledak perbuatan tanpa hak untuk memasukkan,
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata
api, amunisi atau bahan peledak.
b.
Kualifikasi
tindak pidana pengangkutan senjata api dan bahan peledak lewat laut melanggar
pasal 1 Undang-Undang Drt Nomor 12 Tahun 1951 tentang perubahan STBL 1948 Nomor
17 atau Pasal 13 Undang-Undang Senjata Api Tahun 1939 LN. Nomor 279.
c.
Penyidik
dan dasar hukumnya.
Pasal berdasarkan pasal 6
Undang-Undang Drt Nomor 12 Tahun 1951.
d.
Tindakan
yang diambil :
1)
Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan
(Jarkaplid)
2)
Serahkan ke Penyidik Polri
4.
Tindak Pidana
Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990)
a.
Definisi
1)
Tumbuhan
adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidyp di darat maupun di
air.
2)
Satwa
adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan/atau di
air, dan/atau di udara.
b.
Kualifikasi
tindak pidana dan pasal – pasal yang dilanggar menutut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990, sebagai berikut :
1)
Dengan
sengaja melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan suaka alam, melanggar pasal 40 ayat (1) jo pasal 19 ayat (1). Jika
karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (3) jo pasal 19 ayat (1).
2)
Dengan
sengaja mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya
dalam keadaan hidup atau mati, melanggar pasal 40 ayat (2) jo pasal 21 ayat (1)
huruf a. jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (3) jo pasal 21 ayat
(1).
3)
Dengan
sengaja mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam
keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia, melanggar pasal 40 ayat (2) jo pasal 21 ayat (1) huruf
b. jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (4) jo pasal 21 ayat (1) huruf
b.
4)
Dengan
sengaja :
a)
Menangkap,
melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
b)
Menyimpan,
memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan mati.
c)
Mengeluarkan
satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia.
d)
Memperniagakan,
menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang
dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indoneisa ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia.
e)
Mengambil,
merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau
sarang satwa yang dilindungi melanggar pasal 40 ayat (2) jo pasal 21 ayat (2).
Jika karena kelalaian melanggar pasal 40 ayat (4) jo pasal 21 ayat (2).
5)
Dengan
sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona
inti taman nasional, melanggar pasal 40 ayat (1) jo pasal 33 ayat (1). Jika
karena kalalaian melanggar pasal 40 ayat (3) jo pasal 22 ayat (1).
6)
Dengan
sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan
zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam,
melanggar pasal 40 ayat (2) jo pasal 33 ayat (3). Jika karena kelalaian
melanggar pasal 40 ayat (4) jo pasal 33 ayat (3).
c.
Penyidik
dan dasar hukum
Penyidik
TNI AL berdasarkan pasal 39 ayat (2) atau Polri atau PPNS tertentu berdasarkan
pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990.
d.
Tindakan
yang diambil : pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan
5.
Tindak Pidana Benda
Cagar Budaya (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992)
a.
Definisi
1)
Benda
berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya, ekonomi dan
lainnya.
2)
Kapal
yang tenggelam adalah kapal verenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC), Belanda, Portugis, Inggris, Jepang, Cina dan
kapal lain yang tenggelam di perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia sekurang-kurangnya selama lima puluh
tahun.
3)
Pengangkatan
adalah kegiatan yang meliputi penelitian, survey dan pengangkatan benda
berharga asal muatan kapal tenggelam.
4)
Pemanfaatan
adalah kegiatan yang meliputi penjualan kepada pihak ketiga dan pemanfaatan
lain untuk kepentingan pemerintah.
b.
Kualifikasi
tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1992 sebagai berikut :
1)
Pengangkatan
benda bersejarah/budaya tanpa izin, melanggar pasal 26.
2)
Penggalian,
penyelaman, pengangkatan atau cara yang lain untuk mencari benda cagar budaya
tanpa izin dari pemerintah melanggar pasal 27.
3)
Mengetahui
/menemukan benda berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT) tidak melapor
kepada pejabat yang berwenang melanggar pasal 28 c jo pasal 10 ayat (1).
c.
Penyidik
PPNS yang mempunyai wewenang berdasarkan pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1992.
d.
Tindakan
yang diambil :
1)
Pengejaran,
Penangkapan dan Penyelidikan (Jarkaplid).
2)
Menyerahkan
ke PPNS Depbudpar atau PPNS Departemen Kelautan dan Perikanan.
6.
Tindak Pidana
Keimigrasian (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992).
a.
Definisi
1)
Tindak
pidana keimigrasian adalah kedatangan atau kehadiran orang di wilayah RI dimana
orang tersebut tidak terdaftar sebagai warga Negara Indonesia dan tidak
memiliki / dilindungi
dengan dokumen keimigrasian.
2)
Wilayah
Negara RI/Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah Negara RI yang meliputi
darat, laut dan udara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Kualifikasi
tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992, sebagai berikut :
1)
Setiap
orang yang masuk/keluar wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan, melanggar
pasal 48.
2)
Orang
asing yang memalsukan visa/ijin keimigrasian atau menggunakan visa/ijin
keimigrasian palsu, melanggar pasal 49.
3)
Orang
asing yang menyalahgunakan/melakukan kegiatan tidak sesuai ijin keimigrasian,
melanggar pasal 50.
4)
Orang
asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah atau pernah
diusir/deportasi dan berada kembali di wilayah Indonesia secara tidak sah,
melanggar pasal 53.
c.
Penyidik
dan Dasar Hukum.
Polri
dan PPNS tertentu bidang keimigrasian berdasarkan pasal 47 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992.
d.
Tindakan
yang diambil :
1)
Pengejaran,
Penangkapan dan Penyelidikan (Karkaplid).
2)
Serahkan
ke PPNS Keimigrasian/Polri.
7.
Tindak Pidana
Psikotropika (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997) dan Narkotika (Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009).
a.
Tindak Pidana
Psikotropika
1)
Definisi
a)
Psikotropika
adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang
berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pasa aktivitas mental dan perilaku.
b)
Pengangkutan
adalha setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan
psiktropika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara moda atau sarana angkut
apapun, dalam rangka produksi dan peredaran.
c)
Transito
adalah pengangkutan psikotropika di eilayah RI dengan atau tanpa berganti
sarana angkutan antara dua Negara lintas.
2)
Kualifikasi
tindak Pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997, sebagai berikut :
a)
Melaksanakan
pengangkatan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat
persetujuan ekspor atau impor, melanggar pasal 51 ayat (1) huruf c.
b)
Secara
tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau membawa psikotropika, melanggar pasal
62.
c)
Melakukan
pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan yang sah,
melanggar pasal 63 ayat (1) huruf a.
3)
Penyidik
dan dasar hukumnya.
Polri
dan PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus berdasarkan pasal 56 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997.
4)
Tindakan
a)
Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan
(Jarkaplid)
b)
Serahkan ke Polri atau BNN.
b.
Tindak Pidana
Narkotika
1)
Definisi
a)
Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran
dan dapat menimbulkan ketergantungan.
b)
Peangkutan
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari
suatu tempat ke tempat lain dengan cara atau sarana angkutan apapun.
2)
Kualifikasi
Tindak Pidan dan Pasal-pasal yang dilanggar menurut Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009, sebagai berikut :
a)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman, melanggar pasal 111 ayat (1).
b)
Dalam
hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melbihi 2 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon, melanggar pasal 111 ayat (2).
c)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, melanggar pasal 112 ayat (1).
d)
Dalam
hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, melanggar pasal 112 ayat (2).
e)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum memproduksi mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I, melanggar pasal 113 ayat (1).
f)
Dalam
hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, melanggar pasal 113 ayat
(2).
g)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam juli beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I, melanggar pasal 114 ayat (1).
h)
Dalam
hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi
1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan
tanaman beratnya 5 (lima) gram, melanggar pasal 114 ayat (2).
i)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan I, melanggar pasal 115 ayat (1).
j)
Dalam
hal perbuatan tanpa hak atau melawan hokum membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima)
batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, melanggar pasal 115 ayat (2).
k)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum menggunakan Narkotika Golongan I
terhadap orang lain atau memberikan arkotika Golongan I untuk digunakan orang
lain, melanggar pasal 116 ayat (1).
l)
Dalam
hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan
I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, melanggar pasal 116 ayat (2).
m)
Setiap
orang yang tanpa hak mau melawan hokum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan II, melanggar pasal 117 ayat (1).
n)
Dalam
hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, melanggar
pasal 117 ayat (2).
o)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan II, melanggar pasal 118 ayat (1).
p)
Dalam
hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
melanggar pasal 118 ayat (2).
q)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan II, melanggar pasal 119 ayat (1).
r)
Dalam
hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, emnukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, melanggar
pasal 119 ayat (2).
s)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan II, melanggar pasal 120 ayat (1).
t)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum menggunakan Narkotika Golongan II
terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang
lain, melanggar pasal 121 ayat (1).
u)
Dalam
hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan
II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, melanggar pasal 121 ayat (2).
v)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan III, melanggar pasal 122 ayat (1).
w)
Dalam
hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan
III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
melanggar pasal 122 ayat (2).
x)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan III, melanggar pasal 123 ayat (1).
y)
Dalam
hal perbuatan memproduksi, mngimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, melanggar pasal 123 ayat (2).
z)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan III, melanggar pasal 124 ayat (1).
aa)
Dalam
hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, melanggar
pasal 124 ayat (2).
bb)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum memabwa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan III, melanggar pasal 125 ayat (1).
cc)
Dalam
hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika
Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, melanggar pasal 125 ayat (2).
dd)
Setiap
orang yang tanpa hak atau melawan hokum menggunakan Narkotika Golongan III
terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan
orang lain, melanggar pasal 126 ayat (1).
ee)
Dalam
hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan
III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
orang lain mati atau cacat permanen, melanggar pasal 126 ayat (2).
3)
Penyidik
dan dasar hukumnya.
Polri
atau PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus berdasarkan pasal 81
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
4)
Tindakan
yang diambil :
a)
Pengejaran, Penangkapan dan Penyelidikan
(Jarkaplid)
b)
Serahkan ke Polri untuk PPNS/BNN.
8.
Tindak Pidana
Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009).
a.
Definisi
1)
Pelestarian
lingkungan adalah upaya untuk menyelamatkan kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk didalamnya manusia dan peri kehidupan
dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.
2)
Perusakan
lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik dan atau hayati lingkungan yang mengakibatkan
lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
yang berkesinambungan.
3)
Pencemaran
lingkungan hidup adalah masuknya/dimasukkannya mahluk hidup, zat, energy
dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh manusia sehingga kualitas
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
b.
Kualifikasi
tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009, sebagai berikut :
1)
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, melanggar pasal 98 ayat (1).
2)
Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, melanggar pasal 98 ayat (2).
3)
Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, melanggar pasal 98 ayat (3).
4)
Setiap
orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau criteria baku kerusakan
lingkungan hidup, melanggar pasal 99 ayat (1).
5)
Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, melanggar pasal 99 ayat (1).
6)
Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, melanggar pasal 99 ayat (3).
7)
Setiap
orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan dipidana, melanggar pasal 100 ayat (1).
8)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administrative yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali, melanggar pasal 100 ayat (2).
9)
Setiap
orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetic ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf g, melanggar
pasal 101.
10)
Setiap
orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (4), melangagr pasal 102.
11)
Setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, melanggar pasal 103.
12)
Setiap
orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, melanggar pasal 104.
13)
Setiap
orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c, melanggar pasal
105.
14)
Setiap
orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, melanggar pasal
106.
15)
Setiap
orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undang ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf b, melanggar pasal 107.
16)
Setiap
orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf h, melanggar pasal 108.
17)
Setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), melanggar pasal 109.
18)
Setiap
orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf I, melanggar pasal 110.
19)
Pejabat
pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi
dengan amdal aau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1),
melanggar pasal 111 ayat (1).
20)
Pejabat
pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/taau
kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1), melanggar pasal 111 ayat (2).
21)
Setiap
pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan.atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan
Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, melanggar pasal 12.
22)
Setiap
orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan, informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penagakan hokum yang berkaitan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf j, melanggar pasal 113.
23)
Setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah, melanggar pasal 114.
24)
Setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pelaksanaan tuga spejabat penawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik
pegawai negeri sipil, melanggar pasal 115.
c.
Penyidik dan dasar hokum
Polri
dan PPNS, berdasarkan pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
d.
Tindakan
yang diambil : pengajaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan
(Jarkaplidik).
9.
Tindak Pidana
Kehutanan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999).
a.
Definisi
1)
Kehutanan
adalah system pengurusan yang bersangkut paut dengna hutan, kawasan hutan dan
hasil hutan yang diselenggarakan secara terpandu.
2)
Hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didumonasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
3)
Hasil
hutan adalah benda-benda hayati yang berupa Hasil Hutan Kayu (HHK)dan Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) selain tumbuhan dan satwa liar yang dipungut dari hutan
Negara.
4)
Surat
keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti
legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil
hutan.
5)
Surat
Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang, dipergunakan dalam pengangkutan, penguasaan atau
pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang diangkut secara langsung dari
areal ijin yang sah pada hutan alam Negara dan telah melalui proses verifikasi
legalitas, termasuk telah dilunasi PSDH dan atau DR.
6)
Faktur Angkutan Kayu
Bulat (FA-KB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh penerbit FA-KB yang
merupakan petugas perusahaan, dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan
berupa kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari perijinan yang sah
pada hutan alam negara atau hutan tanaman dikawasan hutan produksi, dan untuk
pengangkutan lanjutan kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari
kawasan hutan negara yang berada diluar kawasan.
7)
Faktur Angkutan Kayu
Olahan (FA-KO) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh penerbit FA-KO,
dipergunakan dalam pengangkutan untuk hasil hutan berupa kayu olahan berupa
kayu gergajian, kayu lapis, veneer, serpih
dan laminated veneer lumber (LVL).
8)
Faktur Angkutan Hasil
Hutan Bukan Kayu (FA-HHBK) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh
petugas FA-HHBK yang digunakan untuk pengangkutan HHBK yang berasal dari areal
ijin yang sah pada hutan alam negara.
b.
Kualifikasi tindak
pidana
Dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil
hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan, melanggar pasal 78 ayat (7) jo pasal 50 ayat (3) huruf h.
c.
Penyidik dan dasar
hukum.
Polri dan PPNS Kehutanan berdasarkan pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor
41 tahun 1999.
d.
Tindakan yang diambil :
1)
Pengejaran, Penangkapan
dan Penyelidikan (Jarkaplid).
2)
Serahkan ke PPNS
Kehutanan atau Polri.
10.
Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003).
a.
Definisi
1)
Tindak pidana terorisme
adalah perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulakan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan
atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup
atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
2)
Obyek vital yang
strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang mempunyai nilai ekonomis,
politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan yang sangat tinggi termasuk
fasilitas internasional.
b.
Kualifikasi tindak
pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003, sebagai berikut :
1)
Secara melawan hukum
memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan
atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan
atau mengeluarkan ke dan atau dari Indonesia sesuai senjata api, amunisi, bahan
peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan
tindak pidana terorisme.
2)
Dengan sengaja
menggunakan senjata kimia, biologis, radiologi, mikro organisme, radio aktif atau komponen lainnya sehingga
menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas,
menimbulkan korban yang berisfat masal, membahayakan terhadap kesehatan,
terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi
kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan
hidup, fasilitas publik atau fasilitas Internasional.
c.
Penyidikan dan dasar
hukumnya.
Polri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
d.
Tindakan yang diambil :
1)
Pengejaran, Penangkapan
dan Penyelidikan (Jarkaplid).
2)
Serahkan ke Polri.
11.
Tindak Pidana
Kepabeanan (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan).
a.
Definisi
1)
Daerah
pabean adalah Wilayah Republik Indonesia yang meliputi darat, perairan dan
ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di ZEE dan Landasan
Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini.
2)
Impor
adalah kegiatan memasukkan barang kedalam daerah pabean.
3)
Ekspor adalah kegiatan
mengeluarkan barang dari daerah pabean.
b.
Kualifikasi tindak
pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2006, sebagai berikut :
1)
Setiap orang yang :
a)
Mengangkut
barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam
pasal 7A ayat (2).
b)
Membongkar
barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor
pabean.
c)
Membongkar
barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7A ayat (3).
d)
Membongkar
atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain
tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan.
e)
Menyembunyikan
barang impor secara melawan hukum.
f)
Mengeluarkan
barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean
atau dari tempat penimbunan berikut atau dari tempat lain di bawah
pengawasan pabean tanpa persetujuan
pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara
berdasarkan undang-undang ini.
g)
Mengangkut
barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat
yang tidak sampai kekantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal
tersebut di luar kemampuannya.
h)
Dengan
sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan
pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyeludupan di bidang impor
(pasal 102).
2)
Setiap
orang yang :
a)
Mengekspor
barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean.
b)
Dengan
sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan
pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam pasal 11A ayat (1) yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor.
c)
Memuat
barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11A ayat (3).
d)
Membongkar
barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean.
e)
Mengangkut
barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan
pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 9A ayat (1), dipidana
karena melakukan penyeludupan di bidang ekspor (pasal 102A).
3)
Setiap
orang yang mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 102, pasal 102A,atau pasal 102B (pasal 104).
c.
Penyidik
dan dasar hukum.
PPNS
tertentu di lingkunagn Dirjen Bea dan Cukai Berdasarkan pasal 112 ayat (1)
UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995.
d.
Tindakan
yang diambil :
1) Pengejaran, Penangkapan
dan Penyelidikan ( Jarkaplid ).
2) Serahkan ke PPNS Bea dan Cukai.
12.
Tindak Pidana
Pelayaran (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008).
a.
Definisi.
1)
Pelayaran
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhan
serta keamanan dan keselamatan, serta perlindungan lingkungan maritim.
2)
Alur
pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar dan bebas hambatan
pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.
3)
Sarana
bantuan navigasi pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di luar
kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan
efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.
b.
Kualifikasi
tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut undang – undang Nomor 17
tahun 2008 sebagai berikut :
1)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan \ atau
barang antar pulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia
sebagiamana dalam pasal 8 ayat ( 2 ) melanggar pasal 284 jo ayat ( 2 ).
2)
Setiap
orang yang melayani kegiatan angkutan laut khusus dilarang mengangkut muatan
barang milik orang lain dan atau mengangkut muatan/barang milik pihak lain
dan/atau mengangkut muatan/barang umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13 ayat (4) melanggar pasal 285 jopasal 13 ayat (4).
3)
Nakhoda
angkutan sungai dan danau dilarang melayarkan kapalnya ke laut tanpa izin dari
Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (6) melanggar pasal 286
ayat (1) jo pasal 18 ayat (6).
4)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian hartabenda
melanggar pasal 286 ayat (2).
5)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang
melanggar pasal 286 ayat (3).
6)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapal pada angkutan di perairan tanpa izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 melanggar pasal 287 jo pasal 27.
7)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa izin
trayek sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (4) melanggar pasal 288 jo
pasal 28 ayat (4).
8)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memiliki
persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (6)
melanggar pasal 289 jo pasal 28 ayat (6).
9)
Setiap
orang dilarang menyelenggarakan usaha jasa terkait tanpa memiliki izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 melanggar pasal 290 jo pasal 33.
10)
Setiap
orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau
barang terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1)
melanggar pasal 291 jo pasal 38 ayat (1).
11)
Setiap
orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam
pasal 41 ayat (3) melanggar pasal 292 jo pasal 41 ayat (3).
12)
Setiap
orang yang tidak memberikan fasilitas khusus kemudahan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 42 ayat (1) melanggar pasal 293 jo pasal 42 ayat (1).
13)
Setiap
orang dilarang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya tidak sesuai
dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 melanggar pasal 294 ayat
(1) jo pasal 46.
14)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan kerugian harta
benda melanggar pasal 294 ayat (2).
15)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang
dan kerugian harta benda melanggar pasal 294 ayat (3).
16)
Setiap
orang dilarang mengangkut barang-barang berbahaya dan barang khusus yang tidak
menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 melanggar pasal
295 jo pasal 47.
17)
Setiap
orang yang tidak mengasuransikan tanggunmg jawabnya sebagaimana dimaksud dalam
pasal 54 melanggar pasal 296 jo pasal 54.
18)
Setiap
orang dilarang membangun dan mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (1) melanggar pasal 297 ayat (1)
jo pasal 98 ayat (1).
19)
Setiap
orang dilarang memanfaatkan garis pantai untuk melakukan kegiatan tambat kapal
dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk
kepentingan sendiri di luar kegiatan di pelabuhan, terminal khusus dan terminal
untuk kepentingan sendiri tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 338
melanggar pasal 297 ayat (2) jo pasal 338.
20)
Setiap
orang yang juga tidak memberikan jaminan atas pelaksanaan tanggung jawab ganti
rugi dalam melaksanakan kegiatan dipelabuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal
100 ayat (3) melanggar pasal 298 jo pasal 100 ayat (3).
21)
Setiap
orang dilarang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal
104 ayat (2) melanggar pasal 299 jo pasal 104 ayat (2).
22)
Setiap
orang dilarang menggunakan terminal khusus untuk kepentingan umum tanpa
memiliki izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 melanggar pasal
300 jo pasal 105.
23)
Setiap
orang dilarang mengoperasokan khusus untuk melayani perdagangan dari dan keluar
Negeri tanpa memenuh persyaratan dan belum ada penetapan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 111 ayat (4) dan ayat (6) melanggar 301 jo pasal 111 ayat (4) dan
ayat (6).
24)
Nakhoda
dilarang melayarkan kapalnya sedangakan yang bersangkutan mengetahui bahwa
kapal tersebut laik laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 117 ayat (2)
melanggar pasal 302 ayat (1) jo pasal 117 ayat (2).
25)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan kerugian harta
benda melanggar pasal 302 ayat (2).
26)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan kematian seseorang
dan kerugian harta benda melanggar pasal 302 ayat (3).
27)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan
keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim
sebagaimana dimaksud dalam pasal 122 melanggar pasal 303 ayat (1) jo pasal 122.
28)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 9 (1) , mengakibatkan kerugian harta
benda melanggar pasal 303 ayat (2).
29)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang
melanggar pasal 303 ayat (3)
30)
Setiap
orang yang tidak membantu pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 128 ayat (2) melanggar pasal 304 jo pasal 128 ayat (2).
31)
Setiap
orang yang tidak Memelihara kapalnya sehingga tidak memenuhi persyaratan
navigasi dan/atau navigasi elektronika kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal
304 jo pasal 128 ayat (2).
32)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapal yang tidak memenuhi persyaratan navigasi
dan/atau navigasi elektorinka kapal sebagimana dimaksud dalam pasal 131 ayat
(1) melanggar pasal 306 jo pasal 131 ayat (1).
33)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi dengan perangkat
komunikasi radio dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 131 ayat
(2) melanggar pasal 307 jo pasal 131 ayat (2).
34)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapal tidak dilengkapai dengan peralatan
metereologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (1) melanggar pasal 308
jo pasal 132 ayat (1).
35)
Nakhoda
yang sedang berlayar dan mengetahui adanya cuaca buruk yang membahayakan keselamatan
berlayar namun tidak menyebar-luaskannya kepada pihak lain dan/atau instansi
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat(3) melanggar pasal 309 jo
pasal 132 ayat (3).
36)
Setiap
orang dilarang memperkerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi
dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 melanggar pasal 310 jo
pasal 135.
37)
Setiap
orang dilarang menghalang-halangi keleluasaan Nakhoda untuk melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 138 ayat (4) melanggar pasal 311 jo pasal 138 ayat (4).
38)
Setiap
orang dilaran g memperkerjakan seseorang dikapal dalam jabatan apapun tanpa
disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut
yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 145 melanggar pasal 312 jo
pasal 145.
39)
Setiap
orang dilarang menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut tanpa memenuhi
persyaratan kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam pasal 149 ayat(1)
melanggar pasal 313 jo paal 149 ayat (1).
40)
Setiap
orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal yang telah terdaftar
sebagaimana dimaksud dalam pasal 158 ayat (5) melanggar pasal 315 jo pasal 158
ayat (5).
41)
Nakhoda
dilarang mengibarkan bendera negara lain sebagai tanda kebangsaan dimaksud
dalampasal 167 melanggar pasal 315 jo pasal 167.
42)
Setiap
orang yang dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan yang mengakibatkatkan tidak berfungsinya
Sarana Bantu Navigasi-Pelaayaran dan fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai
dan danau serta Telekomunikasi –Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 174
melanggar pasal 316ayat (1) Jo pasal 174.
43)
Setiap
orang yang karena kelalaiannya menyebabkan tidak berfungsinya Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran dan fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai dan danau dan
Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 174 melanggar pasal
316 ayat (2) Jo pasal 174.
44)
Nakhoda
yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 193 ayat (1)
melanggar pasal 317 Jo pasal 193 ayat (1).
45)
Setiap
orang dilarang melakukan pekerjaan pengerukan serta reklamasi alur-pelayaran
dan kolam pelabuhan tnpa izin Pemerintah sebagimana dimaksud dalam pasal 197
ayat (1) melanggar pasal 318 Jo pasal
197 ayat (1).
46)
Petugas
pandu dilarang melakukan melakukan panduan tanpa memiliki sertifikat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 199 ayat (1) mel;anggar pasal 319 Jo pasal 199
ayat (1).
47)
Pemiliki
kapal dan/atau Nahkoa yang tidak melaporkan kerangka kapalnya yang berada
diperairan Indonesia kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 202 ayat (1) melanggar pasal 320
Jo pasal 202 ayat (1).
48)
Pemilik
kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannyayang mengganggu
keselamatan dan keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 203 ayat (1) melanggar pasal 321 Jo pasal 203
ayat (1).
49)
Nakhoda
dilarang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat
dikolam pelabuhan, menunda dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan
dari persetujuan dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam pasal 216 ayat (1)
melanggar pasal 322 Jo pasal 216 ayat (1).
50)
Nakhoda
dilarang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan
oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam pasal 219 ayat (1) melanggar pasal
323 ayat (1) jo pasal 219 ayat (1).
51)
Jika
perbutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kecelakan kapal
sehingga mengakibatkan kerugian harta benda melanggar pasal 323 ayat (2).
52)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kecelakaan kapal
sehingga mengakibatkan kematian melanggar pasal 323 ayat (3).
53)
Setiap
Awak Kapal yang tidak melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap
terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal sebagaimana dimaksud
dalam pasal 227 melanggar pasal 324 Jo pasal 227.
54)
Setiap
orang dilarang melakukuan pembuangan limbah air balas, kotoran, sampah atau
bahan lain ke perairan di luar ketentuan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 229 ayat (1) melanggar pasal 325 ayat (1) Jo pasal 229
ayat (1).
55)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan rusaknya lingkungan
hidup atau tercemarnya lingkungan hidup melanggar pasal 325 ayat (2).
56)
Jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kematian seseorang
melanggar pasal 325 ayat (3).
57)
Setiap
orang dilarang mengoperasikan kapalnya dengan mengeluar-kan gas buang melebihi
ambang batas sebagaimana dimaksud dalam 229 ayat (2) melanggar pasal 326 Jo
pasal 229 ayat (2).
58)
Setiap
orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam
pasal 231 ayat (2) melanggar pasal 327 Jo pasal 231 ayat (2).
59)
Setiap
orang dilarang melakukan pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun tanpa
memperhatikan spesifikasi kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 233 ayat (1)
melanggar pasal 328 Jo pasal 233 ayat (1).
60)
Setiap
orang dilarang melakukan penutuhan kapal dengan tidak memenuhi persyaratan
perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam pasal 241 ayat (1)
melanggar pasal 329 Jo pasal 241 ayat (1).
61)
Nakhoda
yang mengetahui adanya bahay dan kecelakaan dikapalnya, kapal lain, atau setiap
orang yang ditemukan dalam keadaan bahaya, yang tidak melakukan tindakan
pencegahan dan menyebarluaskan berita mengenai hal tersebut kepada pihak lain,
tidak melaporkan kepada Syahbandar atau Pejabat Perwakilan RI terdekat dan Pejabat
Pemerintah Negara setempat yang berwenang apabila bahaya dan kecelakaan terjadi
di luar wilayah perairan Indonesia serta sebagaimana dimaksud dalam pasal 244
ayat (3) dan ayat (4), pasal 247 dan pasal 248 melanggar pasal 330 Jo pasal 244
ayat (3) dan ayat (4), pasal 247 dan pasal 28.
62)
Setiap
orang yang berada diatas kapal yang
mengetahui terjadi kecelakaan dalam
batas kemampuannya tidak memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan kepada Nakhoda dan/
atau Anak Buah Kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 246 melanggar pasal 331
Jo 246.
63)
Setiap
orang mengoperasikan kapal atau pesawat udara yang tidak membantu usaha
pencarian dan pertolongan terhadap setiap orang yang mengalami musibah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 258 ayat (2) melanggar pasal 332 Jo pasal 258
ayat (2).
64)
Tindak
pidana dibidang pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama
korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja
maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama melanggar pasal 333 ayat (1).
65)
Dalam
hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan
dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya melangar pasal 333 ayat (2).
66)
Dalam
hal panggilan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan
surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di
tempat pengurus itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus melanggar pasal
334.
67)
Dalam
hal tindak pidana dibidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya melanggar pasal 335.
68)
Setiap
pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu
melakukan tindak pidana menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatan melanggar pasal 336 ayat (1).
69)
Selain
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenal pidana tambahan
berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya melangar pasal
336 ayat (2).
c.
Penyidik dan dasar
dasar hukum.
Polri, PPNS dan Penyidik lainnya (TNI AL) berdasarkan pasal 282 ayat (1)
dan penjelasannya.
d.
Tindakan yang diambil :
Pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan (Jarkaplid).
13.
Tindak Pidana
Migas (UU No. 22 Tahun 2001)
a.
Minyak
dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategic tak terbarukan yang terkandung
didalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan Nasional yang
dikuasai oleh Negara.
b.
Kegiatan Usaha Migas
terdiri atas :
1)
Kegiatan Usaha Hulu
a.
Eksploitasi
b.
Eksplorasi
2)
Kegiatan Usaha Hilir
a.
Pengolahan
b.
Pengangkutan
c.
Penyimpanan
d.
Niaga
c.
Kualifikasi tindak
pidana dan pasal yang dilanggar menurut UU No. 22 Tahun 2001, sebagai berikut :
1)
Setiap orang yang
melakukan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) tanpa hak,
melanggar 51 ayat (1).
2)
Setiap orang yang
mengirim atau menyerahkan atau memindah-tangankan data sebagaimana dimaksud
dalam pasal 20 tanpa hak dalam bentuk apapun, melanggar pasal 51 ayat (2).
3)
Setiap orang yang
melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa mempunyai kontrak kerjasama
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1), melangar pasal 52.
4)
Pengolahan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 tanpa Izin Usaha pengolahan, melanggar
pasal 53 huruf a.
5)
Pengangkutan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan, melanggar
pasal 53 huruf b.
6)
Penyimpanan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 tanpa Izin Usaha penyimpanan, melanggar
pasal 53 huruf c.
7)
Niaga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga, melanggar pasal 53
huruf d.
8)
Setiap orang yang meniru atau memalsukan Bahan
Bakar Minyak dan Gas Bumi dan hasil olahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28
ayat (1), melanggar pasal 54.
9)
Setiap
orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang
di subsidi Pemerintah, melanggar pasal 55.
10)
Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas
nama Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tuntutan dan pidana dikenakan terhadap
Badan Usaha ata uBAnk Usaha Tetap dan/atau pengurusnya, melanggar pasal 56 ayat
(1).
11)
Dalam
hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana
yang dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana
denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya,
melanggar pasal 56 ayat (2).
d.
Penyidik
dan dasar hukum
1)
Polri
dan PPNS
2)
Pasal
50 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001
e.
Tindakan
yang diambil : pengejaran, penghentian, pemeriksaan dan penahanan.
14.
Tindak pidana
Minerba (UU No. Tahun 2009)
a.
Minerba
sebagai sumberdaya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan Nasional yang di
kuasai oleh Negara.
b.
Penguasaan Minerba oleh
Negara dan di selenggarakan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
c.
Kualifikasi tindak
pidana dan pasal-pasal yang dilanggar menurut UU No. 4 Tahun 2009, sebagai
berikut :
a)
Setiap orang yang
melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam
pasal 37, pasal 40 ayat (3), pasal 48, pasal 67 ayat (1), pasal 74 ayat (1)
atau ayat (5), melanggar pasal 158.
b)
Pemegang IUP, IPR, atau
IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal
43 ayat (1), pasal 70 huruf e, pasal 81 ayat (1), pasal 105 ayat (4), pasal
110, atau pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan
palsu, melanggar pasal 159.
c)
Setiap orang yang
melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam
pasal 37 atau pasal 74 ayat (1), mwlanggar pasal 160 ayat (1).
d)
Setiap orang yang
mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, melanggar
pasal 160 ayat (2).
e)
Setiap orang atau
pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung,
memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan
mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK atau izin sebagaimana
dimaksud dalam pasal 37, pasal 40 ayat (3), pasal 43 ayat (2), pasal 48, pasal
67 ayat (1), pasal 74 ayat (1), pasal 81 ayat (2), pasal 103 ayat (2), pasal
104 ayat (3), atau pasal 105 ayat (1), melanggar pasal 161.
f)
Setiap orang yang
merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau
IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebgimana dimaksud dalam pasal 136 ayat
(2), melanggar pasal 162.
a)
Dalam hal tindak pidana
sebagimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut
berupa pidana denda dengan pemberatan ditamabah 1/3 (satu pertiga) kali dari
ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan, melanggar pasal 163 ayat (1).
b) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa :
1)
Pencabutan izin usaha ;
dan/atau
2)
Pencabutan Status badan
hukum.
c)
Selain Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 158, pasal 159, pasal 160, pasal 161, dan paal
162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa :
1)
Perampasan barang yang
digunakan dalam melakukan tindak pidana ;
2)
Perampasan keuntungan
yang diperoleh dari tindak pidana ; dan / atau
3)
Kewajiban
membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
15.
Tindak pidana
perikanan (UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No. 45 Tahun 2009
tentang perubahan UU No. 31 Tahun 204 tentang Perikanan).
a.
Tindak
pidana perikanan adalah perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan
kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia (WPPI)
b.
Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal
yang dilanggar menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan Undang-Undang 45
Tahun 2009, sebagai berikut :
1)
Selain yang ditetapkan sebagai tersangka
dalam tindak pidana perikanan atau
tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkan termasuk yang
berkewarganegaraan asing. (Pasal 83 A ayat (1) UU 45/2009).
2)
Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan
asing sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui kedutaan dan perwakilan Negara
asal awak kapal. (Pasal 83A ayat (2) UU 45/2009).
3)
Ketentuan mengenai pemulangan awak kapal
berkewarganegaraan asing sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 83A ayat (3) UU
45/2009).
4)
Setiap orang dengan sengaja di WPP-RI
melakukan penangkapan ikan dan / atau pembudidayaan ikan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/ atau cara, dan bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian SDI dan/atau lingkungannya,
melanggar Pasal 8 ayat (1) jo. Pasal 84 ayat (1) UU 31/2004.
5)
Nakhoda,
ahli penangkapan ikan dan ABK yang dengan sengaja di WPP-RI melakukan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/ataucara, dan/atau lingkungannya, melanggar Pasal 8 ayat (2) jo. Pasal
84 ayat (2) UU 31/2004.
6)
Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan
perikanan, penanggung perusahaan perikanan, dan atau operator kapal perikanan
yang dengan sengaja di WPP-RI melakukan usaha penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/atau cara dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian SDI dan/atau
lingkungannya, melanggar Pasal 8 ayat (3) jo. Pasal 84 ayat (3) UU 31/2004.
7)
Pemilik, usaha pemilik dan/atau penanggung
jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan pembudidayan
ikan WPP-RI menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/atau
cara dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
SDI dan/atau lingkungannya, melanggar Pasal 8 ayat (4) jo. Pasal 84 ayat (4) UU
31/2004.
8)
Setiap orang yang dengan sengaja memiliki,
mengusai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/ atau alat
bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya
ikan di kapal penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara RI
melanggar Pasal 9 jo. Pasal 85 UU 45/2009.
9)
Setiap orang yang dengan sengaja di WPP-RI
melakukan pembuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan SDI
dan/atau lingkungannya, melanggar Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 86 ayat (1) UU
31/2004.
10) Setiap
orang yang dengan sengaja di WPP-RI membudidayakan ikan yang dapat membahayakan
SDI dan/atau lingkungan SDI dan/atau kesehatan manusia melanggar Pasal 12 ayat
(2) jo. Pasal 86 ayat (2) UU 31/2004.
11) Setiap
orang yang dengan sengaja di WPP-RI membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika
dan membahayakan SDI dan/atau lingkungan SDI dan/atau kesehatan manusia,
melanggar Pasal 12 ayat (3) jo. Pasal 86 ayat (3) UU 31/2004.
12) Setiap
orang yang dengan sengaja di WPP-RI menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan
ikan yang dapat membahayakan SDI dan/atau lingkungan SDI dan atau kesehatan
manusia, melanggar Pasal 12 ayat (4) jo. Pasal 86 ayat (4) UU 31/2004.
13) Setiap
orang yang dengan sengaja di WPP-RI merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan
sumberdaya ikan melanggar Pasal 14 ayat (4) jo. Pasal 87 ayat (1) UU 31/2004.
14) Setiap
orang yang karena kelalaiannya di WPP-RI mengakibatkan rusaknya plasma nutfah
yang berkaitan dengan SDI, melanggar Pasal 14 ayat (4) jo. Pasal 87 ayat (2) UU
31/2004.
15) Setiap
orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan
dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, SDI,
dan/atau lingkungan SDI ke dalam dan/atau keluar wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia, melanggar Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 88 UU 31/2004.
16) Setiap
orang yang melakukan penanganan dan pengelolaan ikan yang tidak memenuhi dan
tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, system jaminan mutu,
dan keamanan hasil perikanan, melanggar Pasal 20 ayat (3) jo. Pasal 89 UU
31/2004.
17) Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau
hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia tidak dilengkapai
sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia, melanggar Pasal 21 jo. Pasal 90 UU
31/2004.
18) Setiap
orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan
penolong dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia, dan/atau lingkungan
dalam melakasanakan penganganan dan pengolahan ikan, melanggar Pasal 23 ayat
(1) jo. Pasal 91 UU 31/2004.
19) Setiap
orang yang dengan sengaja di WPP-RI melakukan usaha perikanan di bidang
pengkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan, yang
dengan tidak mempunyai SIUP, melanggar Pasal 26 ayat (1) jo. Pasal 92 UU
31/2004.
20) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara RI
dan /atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI, melanggar Pasal 27 ayat (1)
jo. Pasal 93 ayat (1) UU 45/2009.
21) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI, melanggar
Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 93 ayat (1) UU 45/2009.
22) Setiap
orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah
pengelolaan perikanan Negara RI, yang tidak membawa SIPI asli, melanggar Pasal
27 ayat (3) jo. Pasal 93 ayat (3) UU 45/2009.
23) Setiap
orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang
tidak membawa SIPI asli, melanggar Pasal 27 (3) jo. Pasal 93 (ayat (4) UU
45/2009.
24) Setiap
orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di WPP-RI
yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan terkait yang tidak memiliki
SIKPI, melanggar Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 94 UU 45/2009.
25) Setiap
orang yang memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu,
melanggar Pasal 28A jo. Pasal 94A UU 45/2009.
26) Setiap
orang yang membangun, mengimpor atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak
mendapat persetujuan terlebih dahulu, melanggar Pasal 35 ayat (1) jo. Pasal 95
UU 31/2004.
27) Setiap
orang yang mengoperasikan kapal perikanan di WPP-RI yang tidak mendaftarkan
kapal perikanannya sebgaai kapal perikanan Indonesia, melanggar Pasal 36 ayat
(1) jo. Pasal 96 UU 31/2004.
28) Nakhoda
yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki
ijin penangkapan ikan, yang selama ini berada di WPP-RI tidak menyimpan alat
penangkapan ikan di dalam palkah, melanggar Pasal 38 ayat (1) jo. Pasal 97 ayat
(1) UU 31/2004.
29) Nakhoda
yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang memiliki ijin
penangkapan ikan dengan satu jenis alat penangkpan ikan tertentu pada bagian
tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya, melanggar Pasal 38
ayat (2) jo. Pasal 97 ayat (2) UU 31/2004.
30) Nakhoda
yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki
ijin yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di
luar daerah penangkapan yang di ijinkan di WPP-RI, melanggar Pasal 38 ayat (3)
jo. Pasal 97 ayat (3) UU 31/2004.
31) Nakhoda
kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar, melanggar Pasal
42 ayat (3) jo. Pasal 98 UU 45/2009.
32) Setiap
orang asing yang melakukan penelitian perikanan di WPP-RI yang tidak memiliki
ijin dari Pemerintah, melanggar Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 99 UU 31/2004.
33) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal
91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94
adalah kejahatan (Pasal 103 ayat (1) UU 31/2004).
34) Tindak
pidana sebagaimana dimakssed dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95,
Pasal 96, Pasal 97, Pasal 998, Pasal 99, dan Pasal 100 adalah pelanggaran (Pasal 103 ayat (2) UU
31/2004).
c.
Penyidik dan dasar hukum
1)
Pasal 73 ayat (1) penyidikan tindak pidana di bidang
Perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara RI dilakukan oleh PPNS
Perikanan, Perwira TNI AL dan atau Penyidik Kepolisian Negara RI.
2)
Pasal 73 ayat (2) Kewenangan Penyidik di
ZEEI : Perwira TNI AL dan PPNS Perikanan.
3)
Pasal 73 ayat (3) kewenangan penyidik di
pelabuhan perikanan : diutamakan PPNS Perikanan.
d.
Tindakan yang diambil : pengejaran,
penangkapan, penyelidikan dan penyidikan (Jarkaplidik).
16.
Tindak
Pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007).
a.
Wilayah
pesisir dan pulau pulau kecil merupakan bagian dari sumber daya alam
yang perlu dijaga kelestariannya.
b.
Kwalifikasi tindak pidana dan pasal-pasal
yang di langgar menurut undang-undang Nomor 27 tahun 2007, sebagai berikut :
1)
Setiap orang yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu
karang di kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun,
dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang,
melanggar pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d jo. Pasal 37 ayat (1)
huruf a atau Pasal 73 ayat (2).
2)
Setiap orang yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menggunakan cara dan
metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konservasi ekosistem
mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industry dan pemukiman, dan/atau
kegiatan lain, melanggar Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g jo. Pasal 73
ayat (1) huruf b atau Pasal 73 ayat (2).
3)
Setiap orang yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menggunakan cara dan metode yang merusak pedang lamun, melanggar
Pasal 35 huruf h jo. Pasal 73 ayat (1) huruf c atau Pasal 73 ayat (2).
4)
Setiap orang yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya melakukan penambangan pasir, melanggar Pasir, melanggar Pasal 35
huruf I jo. Pasal 73 ayat (1) huruf d atau Pasal 73 ayat (2)
5)
Setiap orang yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya melakukan penambangan minyak dan gas, melanggar Pasal 35 huruf j
jo. Pasal 73 ayat (1) huruf e atau Pasal 73 ayat (2)
6)
Setiap orang yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya melakukan penambangan mineral, melanggar Pasal 35 huruf k jo.
Pasal 73 ayat (1) huruf f atau Pasal 73 ayat (2).
7)
Setiap orang yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan, melanggar
Pasal 35 huruf I jo. Pasal 73 ayat (1) huruf g atau Pasal 73 ayat (2).
8)
Setiap orang yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya tidak melaksanakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang diakibatkan oleh alam dan/atau orang, sehingga
mengakibatkan bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana, melanggar Pasal 59 ayat (1) jo.
Pasal 73 ayat (1) huruf h atau Pasal 73 ayat (2).
9)
Setiap orang yang karena kelalaiannya tidak
melaksanakan kewajiban rehabilitasi, melanggar Pasal 32 ayat (1) jo. Pasal 74
huruf a.
10) Setiap
orang yang karena kelalaiannya tidak melaksanakan kewajiban reklamasi,
melanggar Pasal 34 ayat (2) jo. Pasal 74 huruf b.
11) Setiap
orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan usaha di wilayah pesisir
tanpa hak, melanggar Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 75 huruf a.
12) Setiap
orang yang karena kelalaiannya tidak melaksanakan kewajiban, melanggar Pasal 21
ayat (4) jo. Pasal 75 huruf b.
c.
Penyidik dan dasar hukum,
1)
Pasal 70 ayat (1) Selain pejabat penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertantu
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik.
2)
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik pegawai negeri sipil di
bidang Pengelolaan WilayahPesisir dan Pulau Pulau Kecil.
d.
Tindakan yang diambil :
1)
Menerima laporan atau pengaduan tentang
adanya tindak pidana, melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pentidikan,
penyegelan dan penyitaan barang bukti.
2)
Bila dilakukan oleh PPNS, member tahu
dimulainya penyidikan kepada Penyidik Polri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar